Minggu, 16 November 2008

1 APRIL 2008 PUNCAK PAPANDAYAN

Gunung Papandayan adalah gunung yang terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Gunung dengan ketinggian 2622 meter di atas permukaan laut itu sangat terkenal di kalangan para pendaki, khususnya pendaki pemula. Selain terkenal dengan keindahan struktur alamnya, gunung ini juga memiliki kawah belerang yang masih aktif dan masih rimbunnya padang Eidelweis yang luasnya mencapai puluhan are serta banyak pula pohon Mutiara Putih. Gunung Papandayan merupakan cagar alam yang didalamnya banyak terdapat keanekaragaman hayati dan obyek-obyek wisata alam yang indah. Gunung Papandayan mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung. (http://id.wikipedia.org/wiki/Papandayan)

Gunung Papandayan adalah pilihan berikutnya ekspedisi KUYA GUNUNG. Pilihan yang tepat, mengingat perjalanan menuju puncak kali ini, diikuti oleh dua orang anggota baru KUYA GUNUNG. Tak lain tak bukan, salah satunya adalah Jendy “The New Comer” dan satu orang lainnya Andreas Indra Gunawan (AIG). Khusus untuk Jendy, ini merupakan perjalanan puncak untuk pertama kalinya. Anggota KUYA GUNUNG yang lain adalah Bram “The Chief”, Sandy Ogel, Tibo “Kader Terbaik”, Edd, dan Resa.

















Perjalanan kali ini hanya membutuhkan perencanaan sehari saja, tidak diragukan lagi, mengingat pengalaman yang cukup matang dengan jam pendakian yang cukup tinggi dari beberapa anggota KUYA GUNUNG. Start dari kampus tercinta, pagi menjelang siang, di hari terakhir bulan maret dua ribu delapan. Kali ini transportasi tidak menjadi masalah, Bram “The Chief” membawa SUV silvernya. Tujuh orang dipaksa masuk ke dalamnya, tetapi canda tawa selama perjalanan membuktikan kata – kata “dipaksa” sebenarnya tidak tepat.


Menjelang sore hari, diiringi rintik hujan SUV memulai pendakiannya. Akhirnya sampai juga di basecamp Papandayan, setelah “kulonuwun” kepada penjaga hutan dan menyumbang pemeliharaan hutan lindung, kami istirahat sejenak di gubug – gubug komersiil. Nasi goreng, indomomi rebus, ditemani teh panas memberi energi dan kehangatan yang cukup di sore yang dingin itu. Selanjutnya, kami beribadah wajib di dekat tempat kami makan.

















Setelah menunggu hampir dua jam, hujan tak kunjung reda, membuat kepala tertunduk enggan diterpa angin dan hujan, kaki menekuk enggan beranjak. Tetapi keinginan menjalin persahabatan dengan alam membuat semangat tetap terjaga. SEMANGAT nomer satu bos!!!


Jam lima sore, walaupun hujan masih turun pendakian dimulai. Medan berbatu langsung menghadang pada perjalanan jam pertama, air hujan, kabut, dan udara bercampur belerang menambah berat. Dua kali istirahat selama perjalanan satu jam setengah, cukup menunjukkan beratnya perjalanan ini.
















The first track
















Dekat kawah belerang


Perjalanan medan pertama diakhiri dengan menyeberangi sungai, setelah menuruni bukit. Ini dikarenakan rute utama tidak bisa dilewati, karena longsor. Perjalanan berikutnya, tidak kalah beratnya, yaitu medan dengan elevasi enam puluh derajat. Diperlukan ketenangan, dan tidak boleh tergesa – gesa, karena yang dilewati hanyalah jalan air yang sangat licin. Berikutnya medan beralih ke normal, setelah satu jam perjalanan akhirnya kita memutuskan untuk berhenti. Kabut semakin tebal, malam semakin dekat, jarak pandang berkurang, akhinya kita memutuskan untuk mendirikan tenda di daerah landai.