Minggu, 25 Mei 2008

ALONE


alone is not always lonely

Sabtu, 24 Mei 2008

DEDI MIZWAR SAID

bangkit itu susah
susah melihat yang lain susah
senang melihat yang lain senang

bangkit itu takut
takut korupsi
takut makan yang bukan haknya

bangkit itu mencuri
mencuri perhatian dunia dengan prestasi

bangkit itu marah
marah bila martabat bangsa dilecehkan

bangkit itu malu
malu jadi benalu
malu minta melulu

bangkit itu tidak ada
tidak ada kata menyerah
tidak ada kata putus asa

bangkit itu aku untuk Indonesiaku

PANTAI UJUNG GENTENG (HARI KEDUA-II)

Dari Curug Cikaso kita melanjutkan perjalanan ke Pantai Cibuaya, kebali dengan ‘kura – kura’. Setelah setengah perjalanan, kami melanjutkan dengan jalan kaki, karena ‘kura – kura’ capek. Perjalanan terasa berat, dengan perut mulai berbunyi, dan terik matahari yang membakar kulit. Tiga per empat jalan, kami beristirahat untuk mengisi perut di gubug Cibuaya. Makanan seadanya terasa nikmat, apalagi ditambah candaan sepasang Kuya Gunung, yang meiliki bola mata mirip. Jalan kaki dilanjutkan, sampai sekitar setengah lima kita menemukan good point. Ombak menjadi teman bermain selanjutnya, sangat mengasikkan, tetapi juga menegangkan. Kenapa?tanya saja kepada sepasang Kuya Gunung.









Makan di pantai Cibuaya


Matahari mulai tenggelam, bersamaan dengan semangat kami. Menjelang magrib, kami akhirnya beranjak untuk kembali ke penginapan. Berjalan di bibir pantai dengan diterangi halo dari cahaya korona, rasa capek tak terasa. Sejam perjalanan, akhirnya sampai juga ke peradaban pinggir pantai dan langsung disambut gonggongan anjing tak beradab. Beberapa menit menyusuri jalan beraspal, sampai juga akhirnya di penginanapan DEWI SARIBUNGA. Air tawar segar siap mengguyur badan yang asin ini.


Halo

. . .
Berjalan gontai menyusuri bibir pantai
Angin darat pengantar nelayan menyapa lembut
Lingkaran cahaya Halo oleh kristal es awan Cirrus menerangi
Di penghujung gonggongan domestikasi serigala menyambut
. . .

Akhirnya perjalanan Pantai Ujung Genteng, diakhiri esok harinya. Ditutup dengan nikmat, sama nikmatnya dengan ‘memperawani’ lobster. Oke, sampai jumpa diperjalan berikutnya. Salam Kuya Gunung.

Jumat, 23 Mei 2008

PANTAI UJUNG GENTENG (HARI KEDUA-I)

Pukul empat tiga puluh pagi waktu indonesia barat, alarm handphone berdering. Air wudlu serasa segar membasuh muka, sujud di pagi hari, wujud syukur hamba kepadaNYA. Ayunan kaki langsung menuju pantai, ingin menyonsong matahari pagi muncul di ufuk timur. Gelak tawa, mengiringi matahari terbit. Perjalanan berlanjut, menyusuri pantai Ujung Genteng. Matahari mengiringi, teriknya menyusup memberi kesehatan.

. . .
Semburat cahaya menyeruak
Melukis langit dengan samar – samar
Segerombol kuya menyerbu
Siluet tegas terbentang
. . .


Kuya Gunung


Behind the sun

. . .
Pasir putih halus menghampar
Karang abu keras menyeruak
Air payau mengalir
Mangrove hijau berarak
. . .


Kuya Gunung at the south toe of west java

TPI tujuan berikutnya, untuk mencari hidangan dasar laut yang menggugah pagi. Nelayan menyuguhi ikan Martin yang besar dan berdarah banyak, tetapi kepiting dan udang lebih menggugah pagi itu rupanya. Masing – masing satu kg kepiting dan udang rasanya cukup mengenyangkan, sembilan puluh ribu rasa – rasanya tidak terlalu mahal untuk hidangan istimewa ini. Hanya saja nasi, teh tawar panas, sambal, dan lalap yang ikut disuguhkan untuk melengkapi olahan dari TPI harus dihargai lima puluh ribu.


Mr Craps


Kepiting TPI setelah diolah warnas setempat
Kembali ke penginapan untuk berkemas melanjutkan perjalanan hari itu, ‘kura – kura tetap setia menemani. The next destination is Curug Cikaso. Perjalanan harus mengarungi sungai besar Cikaso, menggunakan perahu lokal milik warga setempat. Sehingga perjalanan ini cukup menguras kantong, tak kurang dari seratus ribu kami keluarkan bersama. Pengeluaran ini terbayarkan dengan kepuasan akan Curug Cikaso yang alami dan indah.


Di atas perahu mengarungi sungai Cikaso


Curug Cikaso

PANTAI UJUNG GENTENG (HARI PERTAMA)

NIRWANA PANTAI SELATAN

Pesisir Pantai Selatan Jawa Barat
Desa Gunung Batu
Kecamatan Ciracap
Kabupaten Sukabumi


Jelajah alam KUYA GUNUNG untuk kesekian kalinya, mencoba mencari daerah indah, kurang terjamah, ke daerah di ujung selatan Jawa Barat. Pertengahan mei dua ribu delapan, tepatnya tanggal enam belas ekspedisi dimulai. Team KUYA GUNUNG, seperti biasa memberanikan diri berangkat dengan persiapan seadanya. Berbekal sedikit pengalaman ekspedisi-ekspedisi sebelumnya dan pengetahuan secukupnya dari dunia maya. Keseluruhan team hanya tujuh orang, dengan ketua ekspedisi Ogel (Team : Resa, Edd, Medd, Jendy, Aiou, dan Mbak Lul).

Jumat pagi start menuju kota Sukabumi, empat ribu rupiah untuk sampai ke terminal Leuwi panjang dari kampus tercinta. Sesampainya di dalam terminal, kerumunan orang baik memberikan servis gratis, tak menunggu lama kami kembali duduk. Kali ini AC berhembus lembut, delapan belas ribu untuk tiga jam perjalanan, dengan sedikit kejengkelan karena tingkah pengemudi bus yang terlalu santai, mengemudikan bus sambil melayani obrolan penumpang. Jam dua belas kurang lima belas menit, sesampainya di kota Sukabumi kumandang adzan mengundang untuk berjamaah menghadap ke hadiratNYA.

Angkot putih menunggu tanpa dipesan, dua lembar seribuan mengantarkan ke terminal Lembur situ. Kembali kenyataan menyatakan, orang Indonesia adalah orang ramah. Tak menunggu lama, selepas turun dari angkot kami langsung naik ke bus jurusan Surade. Kali ini udara berat terminal berkombinasi dengan terik matahari memanggang kami di dalam bus tua itu. Perjalanan ke Surade dimulai setelah satu jam menanti teman – teman perjalanan. Setengah jam perjalanan terasa biasa, untuk kemudian setelahnya terasa sangat berat. Jalan berliku, naik turun, ditambah lubang – lubang kejutan disambut ‘teknik mengemudi’ sang empunya bus. Tengah perjalanan, jam empat sore bus berhenti di rest area. Tempat ibadah menjadi tempat beristirahat dan bersyukur kepadaNYA. Delapan belas ribu kami bayar untuk perjalanan berat itu.


Di dalam angkot, menuju terminal lembar Situ


Rest Area Sukabumi – Surade

Surade, jam lima lebih. Angkot menuju pantai Ujung Genteng sudah tidak beroperasi. Tetapi hujan tidak turun, jalanan tidak becek, dan ojek pun ada. Untuk ketiga kalinya, keramahan saudara sebangsa kita rasakan. Tetapi angkot yang tak ditunggu malah datang, akhirnya perjalanan berikutnya menggunakan angkot ‘kura – kura’ terasa mengasyikkan, dan menyiratkan ‘sepuluh ribu’ keberuntungan. Bedug magrib dan isya’ telah berlalu, udara pantai mulai terasa. Keberuntungan angkot ‘kura – kura’ nampaknya langsung terbukti, sesampainya di pesisir laut kami diantarkan ke penginapan murah, bersih, dengan fenomena tersendiri. Mulai waktu itu juga free guide kami, sekaligus sopir pribadi tak lain tak bukan adalah sopir angkot ‘kura – kura’. Istirahat sejenak untuk kemudian naik ‘kura – kura’ ke pantai Ujung Genteng. Menikmati pantai di malam hari, ditemani nelayan lobster. Akhirnya, hari itu kami beristirahat jam delapan malam.


Pantai Ujung Genteng

. . .
Perahu – perahu berjajar
Ombak laut beriring
Nelayan bernyanyi
Lobster meringkik
. . .

Selasa, 20 Mei 2008

HALO PANTAI UJUNG SELATAN


. . .


Berjalan gontai menyusuri bibir pantai


Angin darat pengantar nelayan menyapa lembut


Lingkaran cahaya Halo oleh kristal es awan Cirrus menerangi



Di penghujung gonggongan domestikasi serigala menyambut



. . .

Hedgehog's Dilemma

We are just like those hedgehogs. The closer we get to one another, the greater the possibility of us hurting one another. I guess that's the risk of getting too close to a person. Let's face it, all of us have encountered such situations. How often have we been too afraid of getting hurt that we put up barriers around us to shield us from other people? Like the hedgehog, we worry about finding the right distance - too far and we feel no warmth, too close and we begin to hurt one another. And so we sacrifice some warmth in order not to get hurt, and we tolerate some pain in order to feel the warmth of others.

But there are those whose own body heat, so to speak, is high enough that they can live without another's warmth. There is no risk of getting hurt. But it too brings it's own sadness. That of loneliness. To forsake the warmth of others is to avoid the risk of pain, but to the cost of being alone. There are those people who have been too hurt, too much, that they decide it is better to be alone than to get hurt again. It seems strangely familiar. We all have these moments. Moments when we feel the world crashing down on us because we opened our core to someone, and they had shoved a sharp stick into it.

Sometimes, it's hard to find that balance. Sometimes, the pain, or fear of pain, is just too much. Sometimes, it's easier not to get too close. Even if it means being alone.

nb : tulisan di atas sebuah cuplikan dr . . .

Jumat, 02 Mei 2008

delapan hari tak terlupakan

perjalanan dengan keluarga baru ke tanah suci

perjalanan yang sungguh menyenangkan dan menenangkan

. . .

banyak hal yang terekam, hanya bisa dijelaskan dengan langsung saja